Pontianak (Kemenag) – Kementerian Agama Kota Pontianak menegaskan pentingnya kolaborasi antara Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pemerintah daerah sebagai fondasi utama menjaga keharmonisan dan stabilitas kehidupan beragama di Kota Pontianak.
Penegasan ini disampaikan dalam kegiatan diskusi bertema peran FKUB dan pemerintah yang berlangsung di Hotel Borneo Pontianak pada Rabu (10/12/2025).
Kegiatan dihadiri oleh Ketua DPRD Kota Pontianak Satarudin, perwakilan Kesbangpol Kota Pontianak, Ketua FKUB Kota Pontianak KH. Abdul Syukur beserta jajaran, serta penyuluh agama se-Kota Pontianak.
Dua narasumber utama turut hadir memberikan materi, yaitu Kepala Kantor Kemenag Kota Pontianak Ruslan dan Kepala Bidang Politik Dalam negeri dan Organisasi Kemasyarakatan Kesbangpol Nur Radiyanti.
Ketua FKUB Kota Pontianak KH. Abdul Syukur dalam sambutannya menegaskan bahwa FKUB merupakan wadah bersama yang beranggotakan pengurus dan IPARI dari enam kelompok agama.
“Tugas kami bukan hanya melayani laporan konflik. Kadang kami harus turun langsung ke lapangan untuk mencegah potensi gesekan yang mungkin muncul,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan harapan agar Pemerintah Kota Pontianak dan DPRD dapat mendukung baik secara moril maupun finansial, agar upaya menjaga kerukunan dapat berjalan maksimal.
Sesi diskusi dipandu oleh Wakil Ketua I FKUB Hadryatus Mentili, yang kemudian memberikan kesempatan kepada narasumber pertama, Nur Radiyanti, untuk memaparkan dukungan kebijakan daerah dalam penguatan harmonisasi sosial.
Materi dilanjutkan oleh Kepala Kemenag Kota Pontianak Ruslan yang membahas empat indikator utama moderasi beragama.
Ruslan menyampaikan bahwa indikator pertama dalah komitmen kebangsaan, yaitu kesadaran untuk menaati konstitusi dan memahami bahwa regulasi negara tidak boleh dipertentangkan dengan keyakinan pribadi.
Indikator kedua adalah toleransi, yang berarti memberikan ruang dan keamanan bagi setiap umat beragama untuk beribadah sesuai agamanya, termasuk menghormati proses pendirian rumah ibadah yang telah diatur dan dijamin oleh undang-undang.
Indikator ketiga ialah anti kekerasan, yakni memastikan bahwa setiap penyelesaian masalah dilakukan dengan pendekatan damai tanpa kekerasan karena kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan.
Indikator keempat adalah akomodasi terhadap budaya lokal. Ruslan menegaskan bahwa tradisi masyarakat harus ditempatkan sebagai bagian dari identitas daerah.
“Budaya lokal seperti ronggeng, tradisi Melayu “buang-buang”, makan dalam kelambu, sampai adat Dayak seperti Naik Dango, tidak boleh dibenturkan dengan ajaran agama. Itu bagian dari adat istiadat yang harus kita pelihara,” ungkap Ruslan.
Ruslan kemudian menutup pemaparannya dengan mengutip prinsip penting dalam pemahaman keberagamaan.
“Agama memberi ruang bagi manusia mengelola urusan dunianya. Karena dalam hadis disebutkan, ‘antum a’lamu bi amri dunyakum’ kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Maka budaya lokal harus dipahami dalam kerangka itu,” jelasnya.
Kegiatan diakhiri dengan sesi dialog interaktif antara narasumber dan penyuluh agama se-Kota Pontianak yang membahas tantangan lapangan serta penguatan strategi pengelolaan kerukunan.
Melalui kegiatan ini, Kemenag Kota Pontianak menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat sinergi FKUB, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan guna memastikan Pontianak tetap menjadi kota yang damai, harmonis, dan inklusif.









